SOLO – Asah gemar membaca dan menumbuhkan karakter anak bangsa melalui kecintaan terhadap budaya lokal, SD Muhammadiyah 1 Ketelan ikutkan Rajwa Aisyah Mau’ida Izzati kelas 4 lomba bertutur yang digelar Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Surakarta jenjang SD/MI, Minggu (25/4/2021).
“di bawah komando manajer Hj Sri Sayekti, sesuai tagline kami Sekolah Pendidikan Karakter berbasis TIK dan Budaya turut berperan aktif mengikuti kompetisi walau di tengah pagebluk Covid-19,” ujar Jatmiko, Wakil Kepala Sekolah bidang Humas.
Diungkapkan, selama pelatihan dan tim IT sekolah terkhusus dan guru karyawan 100 % telah menerima vaksin biar tidak muncul klaster sekolah. Sesuai perkembangan zaman di era industri 4.0 menuju era society 5.0, terutama pelajar alangkah baiknya tetap nguri-nguri budaya lokal.
Dampaknya membangun generasi Indonesia memiliki sikap nasionalisme, jujur, religius, peduli lingkungan, tanggung jawab, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, cintai damai, bersahabat, dan senang belajar.
“Sejak dini anak-anak perlu di kenalkan pendidikan multikultural, menawarkan solutif strategi pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, terutama pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras,”bebernya.
Dahulu kala hidup seorang raja raksasa, Dewata Cengkar di Negara Medang Kamulan. Sang raja sangat tamak dan suka memakan daging manusia. Rakyat sangat resah gelisah, takut dijadikan santapan Sang Raja. Datanglah seorang berjiwa ksatria dari tanah Majeti, yaitu Ajisaka.
Ia mempunyai dua abdi setia: Dora dan Sembada. Sebelum menuju ke Medang Kamulan ia menitipkan pusaka sakti kepada Sembada. Ajisaka menyampaikan yang berhak mengambil pusaka ialah dirinya sendiri.
Singkat cerita, Terjadilah perselisihan dan pertikaian diantara kedua belah pihak. Diakhir pertikaian mereka berdua mati sampyuh (mati bersamaan).
“Melihat kedua abdinya tewas di peperangan, ajisaka merasa sedih dan bersalah. Ajisaka membuat puisi “Aksara Jawa”, ha na ca ra ka artinya ada utusan, da ta sa wa la artinya saling berselisih, pa dha ja ya nya artinya sama kuatnya, ma ga ba tha ng, artinya keduanya mati,” ujar Ki Agung Sudarwanto MSn pelatih bertutur dan Praktisi Seni dan Anggota PEPADI Kota Solo.
Humas, Jatmiko.
0 comments:
Posting Komentar